KORANMANDALA.ID – Dalam empat tahun terakhir, lanskap media Indonesia mengalami guncangan besar. Wartawan yang dulu dikenal sebagai “anjing penjaga demokrasi” kini banyak yang beralih menjadi penulis konten atau kreator digital. Fenomena ini bukan sekadar perubahan profesi, melainkan cerminan krisis industri media yang semakin dalam.
Sejak 2022, tanda-tanda keretakan sudah terlihat: iklan menurun, kekerasan terhadap jurnalis meningkat, dan redaksi mulai melakukan efisiensi.
Memasuki 2023–2025, gelombang PHK massal, tekanan algoritma, dan dominasi platform global mempercepat transformasi wartawan menjadi produsen konten cepat saji.
Tahun ke Tahun Krisis Media di Indonesia
2022: Awal Krisis Media
Tahun 2022 bisa disebut sebagai “tahun awal krisis”. Dewan Pers mencatat 61 kasus kekerasan terhadap jurnalis, naik dari 43 kasus pada 2021. Kondisi ini memperlihatkan betapa rentannya posisi wartawan, baik secara ekonomi maupun keamanan.
Di sisi lain, belanja iklan nasional mulai dikuasai oleh raksasa digital seperti Google, Facebook, dan YouTube. Media konvensional kehilangan sumber pendapatan utama. Beberapa media cetak dan televisi melakukan efisiensi, meski belum terang-terangan.
“Sejak 2022, kami sudah melihat tren penurunan iklan yang signifikan. Media harus mencari cara lain untuk bertahan,” ujar Ninik Rahayu, Ketua Dewan Pers kala itu.
2023: Gelombang PHK Pertama
Memasuki 2023, krisis semakin nyata. AJI (Aliansi Jurnalis Independen) melaporkan ratusan jurnalis terkena PHK akibat turunnya iklan dan pergeseran konsumsi berita ke media sosial.
Media besar mulai mengurangi liputan investigatif yang mahal dan memakan waktu. Sebagai gantinya, mereka memproduksi artikel ringan: tips kesehatan, kuliner, lifestyle, hingga berita viral.
Banyak wartawan yang kehilangan pekerjaan akhirnya membuka kanal YouTube, TikTok, atau menulis artikel SEO untuk portal online. Fenomena “wartawan jadi penulis konten” mulai terlihat jelas.
Maraknya Media Daring, Antara Kebebasan Pers dan Ancaman Disinformasi
2024: Algoritma Mesin Pencari Menguasai
Tahun 2024 menjadi titik balik. Media online semakin bergantung pada trafik dari Google dan media sosial. Wartawan dipaksa menulis artikel cepat, ringan, dan SEO-friendly agar bisa bersaing.
“Jurnalis mencari fakta; konten kreator mencari perhatian. Dalam banyak kasus, keduanya bisa tumpang tindih, namun tidak selalu sejalan,” tulis Bastomi dalam Cakrawala Media.
Liputan investigatif makin jarang muncul. Sebaliknya, artikel-artikel “receh” dengan judul clickbait mendominasi halaman utama media online. Tempo Institute bahkan merilis panduan bagaimana wartawan bisa menulis konten institusi dengan gaya komunikatif dan ramah algoritma.
2025: Era Kreator Digital
Pada 2025, fenomena ini mencapai puncaknya. AJI mencatat lebih dari 2.000 jurnalis terdampak PHK sejak 2023. Banyak mantan wartawan beralih profesi menjadi content creator penuh waktu atau penulis konten untuk institusi dan brand.
Publik makin sulit membedakan mana produk jurnalistik (dengan kode etik) dan mana sekadar konten viral. Artikel di Tatkala.co menyoroti kaburnya batas ini: wartawan dan kreator konten sering dianggap sama, padahal tanggung jawab etiknya berbeda.
“Content creator bukan jurnalisme, melainkan saluran jurnalistik. Wartawan tersandera, organisasi berita tak berkutik, dan kualitas ekosistem berita menurun,” tulis Septiawan Santana Kurnia, akademisi komunikasi, di Kompas.
Menurut Agus Siswanto, penulis literasi digital, “Menulis di media online tidak sama dengan di blog pribadi. Ada aturan, standar, dan rambu-rambu yang tidak boleh dilanggar, sementara blog lebih bebas. Inilah yang membuat media mainstream lebih dipercaya mesin pencari”.
Google Gak Masalah Konten AI, Asal Gak Asal-asalan dan Bikin Otak Netizen Mikir
Profesi Wartawan Mengalami Transformasi Besar
Dalam kurun 2022–2025, profesi wartawan mengalami transformasi besar: dari pencari fakta menjadi produsen konten karena dipaksa atau terpaksa karena tuntutan keadaan: krisis iklan, tekanan algoritma mesin pencari, dan peluang ekonomi di dunia kreator, membuat banyak jurnalis meninggalkan idealisme jurnalistik.
Namun, di tengah banjir informasi, publik tetap membutuhkan jurnalisme yang utuh. Seperti kata Septiawan Kurnia dalam artikel di kompas.id : “Jurnalisme harus tunduk pada era budaya partisipatif, tapi tidak boleh kehilangan etika dan tanggung jawabnya”.
Jika tidak, kita akan hidup di dunia di mana kebenaran kalah oleh klik, dan wartawan hanyalah penulis konten tanpa daya kritis
Dampak Sosial dan Demokrasi
Fenomena wartawan yang bergeser menjadi penulis konten bukan hanya soal profesi, tetapi juga menyentuh kualitas demokrasi. Ketika berita lebih diarahkan untuk mengejar klik, akurasi sering kali dikorbankan. Publik pun tidak lagi mendapat informasi yang jernih, melainkan potongan cerita yang lebih mementingkan sensasi.
Kecepatan produksi konten membuat verifikasi sering diabaikan. Hal ini membuka ruang bagi hoaks dan misinformasi untuk menyebar lebih cepat. Informasi yang seharusnya mencerahkan justru bisa menimbulkan kebingungan dan konflik.
Batas antara berita jurnalistik dan konten hiburan juga makin kabur. Masyarakat sulit membedakan mana informasi yang lahir dari kerja jurnalistik beretika, dan mana yang sekadar konten viral untuk menarik perhatian. Akibatnya, kepercayaan publik terhadap media ikut tergerus.
Lebih jauh, hilangnya fungsi kritis pers membuat wartawan tidak lagi dipandang sebagai penjaga kebenaran.
Padahal, seperti diingatkan Rosihan Anwar: “Wartawan adalah profesi, yakni harus didasari pengetahuan dan keterampilan… yang penting, wartawan harus punya integritas, kesetiaan pada profesi untuk membela rakyatnya, terutama rakyat yang dizalimi.”
Pesan ini menegaskan bahwa jurnalisme sejati tidak boleh kehilangan roh kritisnya.
Fenomena Situs Berita Berisi Konten Cepat Saji: Persaingan Tulisan di Mesin Pencari
Tantangan Menghadirkan Kembali Konten Berkualitas
Menghadirkan kembali konten berkualitas di era banjir informasi bukanlah perkara mudah.
Bagi penulis konten online, kuncinya adalah menemukan ceruk (niche) yang spesifik, memanfaatkan long-tail keyword, serta menonjolkan pengalaman pribadi yang autentik agar memenuhi prinsip EEAT (Experience, Expertise, Authoritativeness, Trustworthiness).
Sementara itu, bagi wartawan, dituntut untuk tetap berpegang pada kode etik jurnalistik, meski kini harus menulis di platform digital yang serba cepat dan penuh tekanan algoritma. Konsistensi menjaga integritas inilah yang membedakan karya jurnalistik dari sekadar konten biasa.
Di sisi lain, media sebagai institusi perlu berani berinvestasi pada liputan mendalam, meskipun hasilnya tidak selalu viral atau mendatangkan klik instan. Liputan investigatif dan analisis kritis tetap menjadi fondasi penting bagi demokrasi.
Namun, tanggung jawab tidak hanya ada pada pembuat konten. Publik juga memegang peran besar: mendukung media kredibel dengan cara berlangganan, berdonasi, atau sekadar memilih untuk membaca dan membagikan karya jurnalistik yang bermutu.
Dengan kolaborasi antara blogger/penulis konten, wartawan, media, dan publik, ekosistem informasi yang sehat dan berkualitas masih mungkin untuk dihidupkan kembali.***
Referensi
Forum Bersosial – Penyebab Blog Personal Kalah Bersaing di SERP Google
Cakrawala Media – Di Antara PHK dan Algoritma: Ketika Jurnalis Berubah Jadi Konten Kreator
Tempo Institute – Tips Jitu Menulis Konten Website Institusi Ala Wartawan Tempo
Tatkala.co – Wartawan Dulu, Kreator Konten Kemudian
Detik Jabar – 30 Kata-Kata Bijak Tentang Jurnalis dan Kebebasan Pers
Kompas.id – Content Creator sebagai Saluran Jurnalistik
Melintas.id – Bedakan Menulis di Blog dengan Media Online


