KORANMANDALA.ID – Bagi banyak warga Bandung, Cikapundung merupakan sungai yang berada pada posisi teratas memori mereka. Terlepas dari berbagai keakraban mereka dengan sungai yang mengalir dari Utara ke Selatan Kota Bandung ini, Cikapundung meresap dalam identitas Bandung
Cikapundung membelah kota, menjadi saksi bisu perkembangan peradaban, dan menyimpan jutaan kisah di setiap alirannya. Ia bukan sekadar sungai; ia adalah nadi kehidupan Bandung, sebuah entitas geografis yang namanya sendiri adalah pustaka sejarah.
Cikapundung: Dari Danau Purba hingga Pusat Peradaban
Mari kita kembali sejenak ke masa lalu, jauh sebelum Bandung jadi kota metropolitan. Konon, jutaan tahun lalu, wilayah Bandung ini adalah sebuah danau purba raksasa, Danau Bandung Purba, yang terbentuk akibat letusan dahsyat Gunung Tangkuban Parahu. Sungai Cikapundung inilah yang menjadi salah satu anak sungai utama yang mengalir ke danau tersebut. Bayangkan, air Cikapundung sudah ada bahkan sebelum manusia menjejakkan kaki di lembah ini!
Nama Cikapundung sendiri, seperti yang kita bahas di artikel sebelumnya, berasal dari bahasa Sunda. “Ci-“ berarti “air” atau “sungai”, dan “Kapundung” adalah nama pohon sejenis buah buni, Baccaurea racemosa, yang mirip duku atau langsat dan dulu banyak tumbuh di tepian sungai. Jadi, Cikapundung berarti “sungai (tempat tumbuh) pohon Kapundung”. Penamaan ini menunjukkan betapa kaya dan beragamnya vegetasi di tepian sungai ini di masa lalu, sebelum hiruk pikuk kota melingkupinya.
Bandung, Kota Seribu Nama: Apa Rahasia di Balik ‘Paris van Java’?
Peran Cikapundung mulai terasa krusial ketika manusia mulai menetap di lembah Bandung sekitar abad ke-15. Aliran sungai ini menjadi sumber air utama bagi pertanian, jalur transportasi sederhana, dan tentu saja, penentu lokasi permukiman. Bahkan, pusat pemerintahan Kabupaten Bandung kala itu, yang berlokasi di Krapyak (sekarang Dayeuhkolot), juga tak jauh dari aliran Cikapundung.
Ketika Herman Willem Daendels memerintahkan pembangunan Jalan Raya Pos pada awal abad ke-19, ia juga memerintahkan pembangunan sebuah jembatan besar di atas Cikapundung pada tahun 1810, yang dikenal sebagai Jembatan Cikapundung atau Groote Postweg Brug. Jembatan ini menjadi simbol kemajuan dan penghubung penting di jantung kota yang baru berkembang ini.
Saksi Bisu Bandung dalam Lintasan Sejarah
Cikapundung bukan hanya saksi bisu pembangunan kota, tapi juga berbagai peristiwa penting yang membentuk Bandung. Sungai ini pernah menjadi sumber air untuk suplai pabrik-pabrik tekstil yang menjamur di Bandung di era kolonial, sekaligus tempat rekreasi dan aktivitas sosial warga di tepiannya. Konon, area di sekitar Cikapundung juga menjadi pusat pertahanan penting bagi Siliwangi pada masa Perang Pasifik.
Pada masa perjuangan kemerdekaan, Cikapundung pun tak luput dari peran. Aliran sungai ini, dengan tepian yang masih banyak ditumbuhi pepohonan dan semak, sering digunakan sebagai jalur persembunyian atau pergerakan para pejuang. Bahkan, saat peristiwa heroik Bandung Lautan Api pada 24 Maret 1946, Cikapundung menjadi salah satu batas strategis pembakaran kota. Para pejuang membumihanguskan sebagian besar Bandung, dan Cikapundung menjadi “garis demarkasi” yang memisahkan area yang terbakar dari bagian kota yang masih dapat dipertahankan. Air sungai pun menjadi saksi bisu heroisme yang menggetarkan jiwa.






