KORANMANDALA.ID – Bayangkan sejenak, di era Hindia Belanda, kala fajar menyingsing di atas hamparan hijau Priangan. Udara pegunungan yang sejuk masih memeluk lembah-lembah, namun di ufuk timur, bukan lagi lenguhan sapi atau derit roda gerobak yang dinanti. Sebaliknya, desisan uap dan denting roda besi mulai mengukir melodi baru. Inilah kisah tentang bagaimana jalur kereta api merayap masuk ke jantung Jawa Barat, mengubah lanskap, ekonomi, dan bahkan takdir sebuah kota bernama Bandung.
Pada mulanya, niatnya sederhana: kekayaan. Tanah Priangan, dengan suburnya, adalah lumbung emas hijau bagi kolonial Belanda. Kopi, teh, kina, dan karet melimpah ruah, namun mengangkutnya ke pelabuhan Batavia (Jakarta) adalah perjuangan yang melelahkan. Jalan darat sempit, berliku, dan memakan waktu berhari-hari. Bayangkan hasil panen melimpah, tapi macet di pedalaman! Maka, pada tahun 1873, rel pertama di Jawa Barat, penghubung Batavia dan Buitenzorg (Bogor), mulai terbentang. Ini bukan sekadar rel; ini adalah pembuluh darah baru yang siap menyalurkan kehidupan, atau dalam kacamata kolonial, keuntungan. Menariknya, sistem kereta api di Priangan ini, setelah Jawa Tengah, adalah yang tertua kedua di seluruh Asia, hanya kalah dari India, sebuah pencapaian yang patut dikenang, meski berbalut sejarah yang kompleks.
Priangan: Saat Rel Baja Merajut Nasib Perkebunan
Kisah berlanjut ke jantung Priangan. Pada tahun 1884, besi-besi itu telah mencapai Cianjur, lalu terus merayap hingga Sukabumi, sebuah jalur yang menyimpan segudang cerita dari masa lalu hingga kini. Dan tak lama berselang di tahun yang sama, sebuah titik krusial tercipta: jalur utama dari Bogor akhirnya menyentuh Bandung. Sejak itu, tak ada yang sama lagi di tanah Parahyangan.
Jalur Kehidupan untuk Komoditas Emas Hijau
Perkebunan teh di Puncak, Cianjur, atau Garut; perkebunan kina di Bandung Raya; semuanya merasakan sentuhan ajaib dari lokomotif uap. Hasil panen yang dulunya diangkut gerobak sapi berderit selama berminggu-minggu, kini bisa tiba di pelabuhan dalam hitungan jam. Efisiensi meroket, biaya anjlok, dan keuntungan bagi para tuan perkebunan Eropa melambung tinggi. Tak cukup sampai di situ, jalur-jalur cabang bahkan dibangun khusus untuk menyelinap ke tengah-tengah pabrik pengolahan, langsung dari sumbernya. Tengok saja jalur ke Ciwidey, yang dibuka pada 1921, menjadi urat nadi bagi distribusi teh, kina, dan hasil bumi dari selatan Bandung.
Transformasi Ekonomi dan Sosial
Rel itu tak hanya mengangkut hasil bumi, tapi juga memancing investor baru membuka lahan-lahan perkebunan. Desa-desa kecil di sepanjang rel bertransformasi menjadi pusat ekonomi, lengkap dengan pasar, gudang, dan permukiman para pekerja yang berjejal. Kehadiran kereta api menciptakan ekosistem ekonomi yang lebih kompleks dan terintegrasi, menjadikan Priangan sebagai jantung produksi komoditas ekspor.
Bandung, Kota Seribu Nama: Apa Rahasia di Balik Paris van Java
Bandung: Dari Kampung Militer Menjelma “Paris van Java”
Dan di sinilah kita mencapai puncak cerita, yaitu transformasi Bandung. Dahulu, Bandung hanyalah sebuah pemukiman kecil, berfungsi sebagai pos militer dan pusat administrasi lokal. Sebuah kota yang sunyi, jauh dari ingar-ingar Batavia. Tapi begitu kereta api datang, takdirnya berubah drastis.
Selanjutnya, Magnet Pertumbuhan dan Urbanisasi






